## Sejarah Myanmar: Dari Kerajaan Pagan Hingga Krisis Politik Kontemporer
Myanmar, negara yang dulunya dikenal sebagai Burma, menyimpan sejarah panjang dan kompleks yang diwarnai oleh kebangkitan dan keruntuhan kerajaan-kerajaan besar, penjajahan kolonial, perjuangan kemerdekaan yang gigih, dan konflik politik yang hingga kini belum menemukan penyelesaian. Perjalanan sejarah Myanmar, dari masa kejayaan kerajaan kuno hingga krisis politik yang melanda negeri tersebut pada masa kini, merupakan gambaran menarik tentang dinamika kekuasaan, perjuangan melawan penindasan, dan upaya yang tak kenal lelah untuk meraih demokrasi sejati. Artikel ini akan mengupas secara rinci perjalanan sejarah Myanmar yang penuh liku tersebut.
**Era Kerajaan-Kerajaan Kuno: Kejayaan Pagan dan Dinasti-Dinasti Penerusnya**
Sejarah awal Myanmar ditandai oleh munculnya Kerajaan Pagan pada abad ke-9 Masehi. Kerajaan Pagan, yang dianggap sebagai kerajaan pertama yang berhasil menyatukan wilayah-wilayah yang kini membentuk Myanmar modern, menorehkan sejarah gemilang di bawah kepemimpinan Raja Anawrahta pada abad ke-11. Anawrahta, seorang penganut setia agama Buddha Theravada, gencar menyebarkan ajaran Buddha di seluruh penjuru kerajaannya. Masa pemerintahannya menjadi era keemasan bagi Pagan, ditandai dengan pembangunan ribuan candi dan stupa megah yang tersebar di seluruh wilayah, terutama di Bagan, yang hingga kini menjadi daya tarik wisata utama. Candi-candi tersebut tidak hanya mencerminkan kehebatan arsitektur Pagan, tetapi juga kekayaan spiritual dan budaya yang berkembang pesat pada masa itu.
Namun, kejayaan Pagan tak abadi. Pada akhir abad ke-13, invasi pasukan Mongol di bawah pimpinan Kublai Khan menghancurkan kerajaan tersebut, menandai berakhirnya era keemasan Pagan. Setelah runtuhnya Pagan, Myanmar terpecah-belah menjadi beberapa kerajaan kecil yang saling bersaing memperebutkan kekuasaan, di antaranya Kerajaan Ava dan Kerajaan Hanthawaddy. Persaingan dan konflik antar kerajaan kecil ini berlangsung selama berabad-abad, menciptakan ketidakstabilan politik dan sosial.
Pada abad ke-16, Dinasti Toungoo muncul sebagai kekuatan baru yang berhasil menyatukan kembali sebagian besar wilayah Myanmar. Di bawah kepemimpinan Raja Bayinnaung, Dinasti Toungoo memperluas pengaruhnya hingga ke seluruh Asia Tenggara, termasuk Thailand, membentuk sebuah imperium yang dianggap sebagai imperium terbesar dalam sejarah Myanmar. Namun, kekuasaan Dinasti Toungoo juga tak kekal, akhirnya runtuh akibat konflik internal dan tekanan dari kekuatan-kekuatan lain.
Kemudian, pada abad ke-18, Dinasti Konbaung berdiri dan kembali mempersatukan Myanmar. Dinasti Konbaung berupaya melakukan modernisasi dan memperkuat militernya. Namun, upaya modernisasi tersebut tidak cukup untuk menghentikan laju ekspansi kolonial Inggris yang mengincar sumber daya alam Myanmar yang melimpah. Serangkaian perang dengan Kerajaan Siam (Thailand) dan Inggris menandai awal dari akhir kedaulatan Myanmar.
**Era Kolonialisme Inggris: Perang Inggris-Burma dan Kebangkitan Nasionalisme**
Intervensi Inggris di Myanmar dimulai melalui tiga fase Perang Inggris-Burma pada abad ke-19 (1824, 1852, dan 1885). Inggris, yang tengah giat memperluas kekuasaannya di Asia, melihat Dinasti Konbaung sebagai penghalang dalam ambisinya tersebut. Keinginan untuk menguasai sumber daya alam Myanmar yang kaya raya, seperti beras, kayu, dan minyak, semakin memperkuat niat Inggris untuk menaklukkan Myanmar. Setelah tiga perang tersebut, Inggris berhasil menaklukkan seluruh wilayah Myanmar dan menjadikannya sebagai bagian dari Kekaisaran Britania pada tahun 1885.
Pemerintahan kolonial Inggris membawa perubahan signifikan pada ekonomi dan struktur sosial Myanmar. Inggris membangun infrastruktur modern, seperti jalur kereta api dan pelabuhan, untuk mempermudah ekspor sumber daya alam. Namun, dampak negatif kolonialisme juga sangat terasa. Ketimpangan sosial dan ekonomi meningkat drastis, dan banyak warga Myanmar merasa terpinggirkan karena posisi-posisi penting dalam pemerintahan dan bisnis dikuasai oleh orang Inggris dan kelompok etnis asing lainnya.
Pada awal abad ke-20, semangat nasionalisme mulai tumbuh di kalangan pemuda dan pelajar Myanmar yang terinspirasi oleh gerakan kemerdekaan di berbagai belahan dunia. Aung San, seorang tokoh nasionalis terkemuka, memainkan peran penting dalam memimpin perjuangan melawan penjajahan Inggris. Setelah bertahun-tahun berjuang melalui jalur politik dan diplomasi, Myanmar akhirnya meraih kemerdekaan pada 4 Januari 1948, menandai awal dari babak baru dalam sejarahnya.
**Pasca-Kemerdekaan: Demokrasi, Konflik Etnis, dan Kediktatoran Militer**
Setelah merdeka, Myanmar berupaya membangun sistem demokrasi. Namun, berbagai tantangan segera muncul, terutama ketidakstabilan politik dan konflik etnis yang berkepanjangan. Ketegangan antara berbagai kelompok etnis, seperti Karen, Shan, dan Kachin, menyebabkan konflik bersenjata yang terus berlanjut, sementara pemerintah pusat kesulitan mempertahankan kontrol atas seluruh wilayah.
Puncak krisis politik terjadi pada tahun 1962 ketika Jenderal Ne Win melakukan kudeta militer dan menggulingkan pemerintahan sipil. Ne Win kemudian membentuk pemerintahan militer yang otoriter dan menerapkan kebijakan ekonomi “Jalan Sosialisme Ala Burma” yang mengakibatkan kemerosotan ekonomi yang parah. Kebebasan pers dikekang, dan oposisi politik ditekan dengan keras.
Pada tahun 1988, ketidakpuasan rakyat terhadap kondisi ekonomi dan pemerintahan yang represif meletus menjadi demonstrasi besar-besaran yang dikenal sebagai Pemberontakan 8888. Ribuan demonstran turun ke jalan menuntut reformasi demokrasi, namun militer merespons dengan kekerasan brutal, menewaskan ribuan demonstran. Pada tahun yang sama, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dibentuk, dengan Aung San Suu Kyi, putri Aung San, sebagai salah satu pemimpin utamanya. Meskipun NLD memenangkan pemilu pada tahun 1990, militer menolak mengakui hasil pemilu tersebut dan Suu Kyi ditahan dalam rumah.
**Reformasi Politik dan Tantangan Demokrasi**
Setelah beberapa dekade berada di bawah kekuasaan militer, Myanmar memulai era reformasi politik pada tahun 2011. Pemerintah militer menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintahan semi-sipil yang dipimpin oleh Thein Sein, seorang mantan jenderal. Reformasi ini meliputi pembebasan tahanan politik, peningkatan kebebasan pers, dan liberalisasi ekonomi.
Pada pemilu 2015, NLD di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi memenangkan suara mayoritas, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, Myanmar memiliki pemerintahan sipil. Suu Kyi, meskipun secara hukum dilarang menjadi presiden, menjabat sebagai “Penasihat Negara” dan memegang kekuasaan besar dalam pemerintahan.
Namun, upaya menuju demokrasi menghadapi berbagai tantangan. Krisis Rohingya, yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia terhadap kelompok minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine, menarik perhatian internasional dan memicu kecaman dari berbagai negara dan lembaga internasional.
**Kudeta Militer 2021 dan Krisis Politik Terkini**
Pada 1 Februari 2021, militer Myanmar kembali melakukan kudeta, menangkap para pemimpin sipil termasuk Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint. Militer menuduh adanya kecurangan dalam pemilu 2020 yang dimenangkan oleh NLD. Kudeta ini memicu protes besar-besaran di seluruh negeri. Rakyat Myanmar, terutama generasi muda, turun ke jalan menuntut pemulihan demokrasi, namun militer kembali merespons dengan kekerasan yang brutal.
Krisis politik ini menempatkan Myanmar dalam situasi yang sangat sulit. Masyarakat internasional mengecam kudeta dan kekerasan yang dilakukan oleh militer, dan banyak negara menerapkan sanksi ekonomi terhadap Myanmar. Nasib Myanmar dan perjuangan rakyatnya untuk meraih demokrasi yang stabil masih menjadi perhatian dunia hingga saat ini.
**Kata Kunci:** Sejarah Myanmar, Burma, Kerajaan Pagan, Kolonialisme Inggris, Aung San Suu Kyi, Kudeta Militer, Konflik Etnis, Demokrasi Myanmar, Krisis Rohingya, Sejarah Asia Tenggara.