Saya tertarik mengeksplorasi berbagai fenomena budaya, sosial, dan ruang di era global. Melalui tulisan, saya mencoba memetakan bagaimana budaya populer, media digital, hingga isu-isu sosial membentuk cara kita memahami dunia, identitas, dan dinamika masyarakat.
Selanjutnya
Tutup
Panggung musik global kembali berdenyut lewat kembalinya BLACKPINK, grup idola wanita yang telah mencetak sejarah dalam industri K-pop. Setelah fokus pada proyek solo masing-masing seperti Jennie dengan album Ruby, Lisa dengan Alter Ego, Jisoo lewat EP Amortage, dan Rosé dalam kolaborasi bersama Bruno Mars, keempat anggota kini bersatu kembali dalam format grup penuh. Kesuksesan individu ini tidak hanya mengukuhkan citra personal mereka di bidang musik, akting, dan fashion, tetapi juga menjadi modal simbolik yang memperkuat merek kolektif BLACKPINK. Momen tersebut ditandai lewat pengumuman BLACKPINK DEADLINE WORLD TOUR , yang dimulai Juli 2025 di Goyang, Korea Selatan, dan dijadwalkan berakhir Januari 2026 di Hong Kong. Saat ini, tur masih berlangsung di berbagai kota, dan analisis ini mencerminkan tren awal yang telah muncul serta potensi dampak ke depan. YG Entertainment pun membentuk “tim proyek khusus” untuk mendukung proyek besar ini, yang menegaskan posisi BLACKPINK sebagai ikon global.
Lebih dari sekadar konser, DEADLINE WORLD TOUR merupakan strategi konsolidasi modal budaya dan ekonomi kreatif dalam satu panggung besar. Setiap pencapaian individu menjadi legitimasi tambahan yang memperluas jangkauan BLACKPINK secara global. Dalam lanskap industri hiburan saat ini, konser tidak lagi hanya soal pertunjukan, melainkan event dengan narasi dan makna historis. BLACKPINK tidak sekadar menjual tiket, tetapi menjual pengalaman, cerita, dan simbol kekuatan lunak yang terus tumbuh. Dengan mengemas tur sebagai “langkah berani menuju babak baru,” mereka membangun ikatan emosional dengan penggemar sekaligus mempertegas dominasi dalam pasar hiburan dunia. Singkatnya, DEADLINE bukan hanya tur, tetapi manifestasi dari ambisi dan konsolidasi kekuatan simbolik dalam skala global.
https://images.app.goo.gl/cuTPBZbPVtM73Ry58
Tur Born Pink World Tour yang digelar BLACKPINK dari Oktober 2022 hingga September 2023 berhasil mencetak sejarah dengan 66 pertunjukan di 22 negara dan meraih pendapatan kotor sebesar $331,8 juta dari 1,75 juta penonton menjadikannya tur grup wanita dan artis Asia terlaris kala itu. Kini, mereka melanjutkan babak baru melalui DEADLINE World Tour yang dimualai pada Juli 2025. Tur ini lebih terkonsentrasi, dengan 31 pertunjukan di 16 kota besar, dan untuk pertama kalinya menggunakan format all-stadium. Tiket untuk dua hari pertunjukan pembuka di Goyang Stadium langsung habis terjual. Meskipun banyak ulasan positif, seperti pujian atas lagu baru “Jump” dan peningkatan stage presence Jisoo, terdapat pula kritik terhadap kostum dan chemistry panggung. Hingga saat ini, sejumlah kota besar telah dilewati dan memberikan gambaran awal yang kuat tentang arah dan daya tarik tur ini, meskipun rangkaian jadwal masih akan berlangsung hingga awal tahun depan. Peralihan dari tur yang menyebar luas ke format stadion ini merupakan bentuk optimalisasi strategis, di mana BLACKPINK mengubah ruang kota menjadi pusat spektakel global yang hiper-lokal, menjadikan konser sebagai magnet baru ekonomi dan budaya.
Dua teori utama dapat menjelaskan fenomena ini. Pertama, Doreen Massey memandang ruang bukan sebagai sesuatu yang statis, tetapi dinamis dan terbentuk oleh relasi global. Dalam konteks ini, stadion konser menjadi “tempat sementara” dengan identitas ganda: bukan hanya arena hiburan, tetapi juga titik temu internasional yang memperluas batas fisik kota. Hal ini tampak nyata dalam kampanye “Pink Area: Takeover Lighting” di Seoul, yang mereposisi landmark kota sebagai ruang BLACKPINK. Kedua, John Urry menjelaskan konsep “tatapan turis” dan “refleksivitas pariwisata,” yakni ketika kota-kota mengevaluasi potensi pariwisatanya melalui arus wisatawan global. Tur skala besar seperti Born Pink dan DEADLINE memperlihatkan ini dengan jelas: penggemar berkeliling dunia, mengonsumsi tempat melalui konser, dan mendorong kota-kota untuk bertransformasi. Stadion dan kota bukanlah latar pasif, tetapi dikonstruksi bersama oleh penampilan artis dan pengalaman penonton. Bahkan komentar negatif penggemar turut membentuk bagaimana ruang konser dimaknai. Dengan demikian, ruang pertunjukan menjadi proses sosial di mana identitas, makna, dan ekonomi saling terjalin.
Mengapa Konser Bisa Menggerakkan Pariwisata Global?
Konser berskala besar kini menjadi katalis ekonomi penting bagi kota-kota global, sebagaimana terlihat dalam fenomena “Efek Taylor Swift” lonjakan permintaan kamar hotel dan pendapatan wisata yang drastis saat tur berlangsung. John Urry menjelaskan bahwa pariwisata modern tidak hanya soal berkunjung, tapi juga soal “mengkonsumsi tempat” dan menciptakan “hibrida global” dari mobilitas dan budaya. Dalam konteks ini, tur BLACKPINK menjadi contoh nyata bagaimana penggemar melakukan perjalanan lintas negara demi pengalaman emosional yang mendalam, menjadikan konser sebagai bagian dari praktik budaya global. Kota-kota pun merespons melalui “refleksivitas pariwisata,” yakni strategi sadar untuk mengembangkan potensi pariwisata berbasis konser. Allen J. Scott menambahkan bahwa konser merupakan “medan kreatif kota” yang merangsang pengeluaran di sektor perhotelan, ritel, dan transportasi memicu efek pengganda ekonomi dan membentuk ekosistem urban yang aktif. Pop-up store dan penjualan merchandise eksklusif tidak hanya menjadi ruang konsumsi, tetapi juga memperluas nilai ekonomi dan simbolik konser ke luar panggung. Fenomena ini memperlihatkan pergeseran ke arah “ekonomi pengalaman” dan “ekonomi emosi,” di mana konser diposisikan bukan sekadar hiburan, tetapi sebagai ziarah budaya yang melekat pada identitas penggemar, memori kolektif, dan citra kota sebagai destinasi global.
Pierre Bourdieu salah satu filsuf, sosiolog, dan antropolog penting di paruh abad ke-20 membedakan empat jenis kapital: ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Kapital simbolik merujuk pada prestise dan pengakuan kolektif yang tampak sah, namun sejatinya merupakan bentuk kekuasaan yang “disalahpahami” sebagai legitimasi alami. BLACKPINK memiliki kapital budaya yang tinggi lewat kemampuan artistik dan multibahasa, yang kemudian diterjemahkan menjadi kapital simbolik melalui pengaruh global mereka di musik, fashion, dan gaya hidup. Kolaborasi dengan merek-merek mewah seperti Chanel, Dior, dan Bulgari menunjukkan bagaimana mereka mengubah estetika dan selera menjadi prestise yang dikonsumsi secara aspiratif oleh penggemar. Proses ini memperkuat “soft power” Korea Selatan konsep yang dikemukakan Joseph Nye sebagai kekuatan non-koersif berbasis budaya dan nilai, di mana daya tarik menjadi senjata diplomatik yang halus. BLACKPINK, sebagai ikon Hallyu, bukan hanya memperkuat citra Korea di mata dunia, tetapi juga menjadi jembatan budaya global: dari pembelajaran bahasa Korea hingga penyebaran tren makanan dan kecantikan. Di era digital, soft power tidak lagi didorong sepenuhnya oleh negara, tetapi diperkuat oleh keterlibatan akar rumput interaksi daring BLACKPINK dengan penggemar menciptakan jaringan advokasi budaya yang lebih efektif daripada propaganda tradisional, membuktikan bahwa kredibilitas dan daya tarik adalah aset paling langka dalam persaingan global saat ini.
Ekonomi emosional, menurut Eva Illouz, adalah kondisi ketika emosi menjadi bagian dari logika pasar, di mana relasi personal dan konsumsi saling melengkapi dalam lanskap kapitalisme modern. BLACKPINK, melalui tur “DEADLINE”, memanfaatkan logika ini dengan mengemas konser sebagai “momen terakhir” yang langka dan tak tergantikan, membangkitkan FOMO (Fear of Missing Out) di kalangan penggemar. Nama tur itu sendiri memuat rasa urgensi emosional yang kuat sebuah strategi pemasaran yang tidak hanya menjual tiket, tetapi juga menjual kemungkinan kehilangan. Merchandise eksklusif, pop-up store, dan kampanye visual seperti “Pink Area: Takeover Lighting” dirancang untuk memperkuat narasi kelangkaan dan menciptakan sensasi “sekali seumur hidup.” Bahkan ketika ada kritik terhadap performa, antusiasme penggemar tetap tinggi, karena yang dibeli bukan hanya konser, melainkan pengalaman emosional dan simbolik yang sulit direplikasi. Dalam konteks ini, pengalaman bersama dan keterikatan emosional antar anggota komunitas (Blinks) menjadi komoditas utama yang mengalahkan aspek teknis. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana kapitalisme emosional bekerja secara efektif dalam industri hiburan, di mana keterlibatan afektif justru menjadi pendorong ekonomi yang paling kuat dan berkelanjutan.
Bisakah Indonesia Menjadi Inovator Budaya di Tengah Gempuran K-Pop?
Fenomena tur global BLACKPINK menyorot ketegangan utama dalam geografi ekonomi budaya antara homogenisasi dan heterogenisasi budaya. Di satu sisi, arus globalisasi budaya yang kuat dapat mengikis identitas lokal melalui dominasi simbol dan nilai dari luar, sebagaimana terlihat dari gaya hidup dan tren K-Pop yang makin melekat di kalangan anak muda Indonesia. Namun, teori glokalisasi menunjukkan bahwa budaya lokal tidak sepenuhnya pasif sebaliknya, ia mampu mengadopsi dan menafsirkan ulang elemen global untuk menciptakan bentuk baru yang hibrid. Kuncinya bukan pada konsumsi semata, melainkan pada produksi dan artikulasi ulang identitas lokal dalam lanskap global. K-Pop telah membuka peluang ekonomi nyata dari tiket konser hingga merchandise dan tantangan kita adalah mentransformasikan konsumsi ini menjadi dorongan bagi industri kreatif lokal. Dengan menerapkan refleksivitas pariwisata (John Urry) dan memahami ekonomi kreatif global (Allen J. Scott), Indonesia dapat membangun strategi budaya yang lebih mandiri bukan hanya sebagai pasar, melainkan sebagai produsen dan inovator dalam arus budaya dunia.